Obat Bermanfaat, tapi Risiko Efek Samping Tak Bisa Diabaikan

Ilustrasi Obat (Ilustrasi, Dok. Beritain Kalbar)

BERITAINKALBAR.COM, LIFESTYLEGuru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof. dr. Nafrialdi, Ph.D., Sp.PD, Sp.FK menegaskan bahwa obat memang menjadi salah satu senjata utama dalam melawan penyakit. Namun, di balik manfaatnya, obat juga mempunyai risiko efek samping yang tidak boleh disepelekan.

“Tidak ada obat yang secara mutlak aman untuk semua orang, untuk segala waktu, dan untuk semua keadaan. Efek samping adalah hal yang melekat dengan obat. Tugas kita adalah memaksimalkan manfaatnya dan meminimalkan risikonya,” ujar Prof. Nafrialdi dalam keterangan pers yang dikutip dari CNBC Indonesia.

Baca juga:  Tips Masuk PTN Jalur SNBP, SNBT, dan Mandiri

Pentingnya Farmakovigilans

Farmakovigilans, yaitu bidang yang berfokus pada pendeteksian, penilaian, pemahaman, serta pencegahan efek samping obat. Meski telah melalui proses uji klinis dan penelitian ketat, tetap ada kemungkinan munculnya efek samping yang tidak teridentifikasi karena keterbatasan jumlah peserta uji.

Prof. Nafrialdi juga menjelaskan, “Bila suatu obat menimbulkan efek samping yang membahayakan, tim farmakovigilans akan merekomendasikan ke BPOM untuk menarik obat itu dari pasaran, atau mengubah indikasi penggunaannya,” jelasnya.

Indonesia Masih Rendah dalam Pelaporan

Di tingkat Asia Tenggara, kontribusi laporan efek samping obat dari Indonesia masih tergolong rendah. Negara ini menempati posisi kelima setelah Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina. Padahal, data semacam ini sangat penting untuk menjamin keamanan obat yang beredar luas di masyarakat.

Baca juga:  Tema Natal Nasional 2024 dan Maknanya

Risiko Tinggi pada Pengobatan Tuberkulosis (TB)

Dalam program penanggulangan Tuberkulosis, farmakovigilans memegang peran besar. Pasalnya, terapi TB biasanya menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jangka panjang. Kondisi ini meningkatkan risiko efek samping, mulai dari gangguan hati hingga keluhan lain yang dapat menyebabkan pasien berhenti mengonsumsi obat.

Jika tidak dikelola dengan baik, situasi tersebut berpotensi menggagalkan target Indonesia untuk mengakhiri epidemi TB pada tahun 2030.

Baca juga:  Ketua DPD RI Usul Masyarakat Bantu Sumbang Uang untuk Program Makan Bergizi Gratis

Dibutuhkan Kolaborasi Semua Pihak

Menurut Prof. Nafrialdi, upaya farmakovigilans tidak bisa berjalan sendiri. Keterlibatan tenaga medis, industri farmasi, pemerintah, hingga masyarakat sangat diperlukan agar pelaporan efek samping lebih optimal.

“Pelatihan berkesinambungan bagi tenaga kesehatan sangat penting, terutama agar laporan efek samping obat bisa dibuat dengan baik dan lengkap,” tegasnya.(pdp)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *