DPR RI Soroti Kratom Komoditas Kalbar Berpotensi Jadi Komoditas Strategis Nasional, Perlu Payung Hukum Tegas

Anggota Baleg DPR RI Eva Monalisa menegaskan urgensi regulasi komprehensif untuk tanaman kratom sebagai komoditas strategis nasional. Dalam RDPU dengan P2KI, Eva menyoroti potensi ekonomi kratom serta pentingnya kepastian hukum, pajak, dan sinergi lintas kementerian.
BERITAINKALBAR.COM – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Eva Monalisa, menegaskan pentingnya penyusunan regulasi yang jelas dan komprehensif untuk mengatur keberadaan tanaman kratom (Mitragyna speciosa)—tumbuhan khas Kalimantan Barat yang kini menjadi salah satu potensi unggulan nasional.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Perkumpulan Pengusaha Kratom Indonesia (P2KI) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
RDPU tersebut merupakan bagian dari pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komoditas Strategis, yang tengah mengkaji sejumlah komoditas bernilai tinggi yang membutuhkan payung hukum kuat, termasuk kratom.
Kratom Merupakan Tumbuhan Khas Kalbar Berpotensi Besar
Eva mengingatkan bahwa Indonesia harus lebih cepat memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap kekayaan hayati lokal.
Ia menyoroti bahwa kratom, yang tumbuh alami dan subur di wilayah Kalimantan Barat, telah menjadi komoditas besar di pasar global namun belum sepenuhnya diatur negara.
“Kita jangan sampai kehilangan dan baru mau mengakui setelah dilirik oleh negara luar. Banyak ciri khas kita yang sudah dipatenkan luar, akhirnya kita baru mulai bergerak,” ujar Eva.
Sebagai tumbuhan khas Kalbar, kratom memiliki nilai ekonomi tinggi karena permintaannya sebagai bahan herbal dan suplemen di luar negeri.
Meski demikian, status hukumnya di Indonesia masih kabur, sehingga pelaku usaha kratom bekerja dalam ketidakpastian regulasi.
Kontributor Devisa, tetapi Pajaknya Tidak Jelas
Menurut Eva, potensi kratom yang tumbuh melimpah di Kalimantan Barat seharusnya menjadi perhatian serius negara. Selain berkontribusi pada pendapatan daerah, kratom berperan sebagai salah satu penopang devisa dari sektor ekspor herbal.8
Namun, akibat belum adanya regulasi yang memayungi, sektor pajaknya tidak terserap optimal.
“Kratom ini menghasilkan devisa yang besar bagi negara. Tapi pajaknya ke mana? Karena mereka tidak punya kepastian hukum, jadi berada di wilayah abu-abu,” tegas politisi PKB tersebut.
Sinergi Lintas Kementerian untuk Regulasi yang Proporsional
Eva menyarankan pembahasan RUU memasukkan masukan dan perspektif berbagai lembaga terkait seperti BNN, Kemenkes, dan Kemenkumham. Langkah ini diperlukan agar regulasi kratom tetap mempertimbangkan aspek ekonomi, kesehatan, dan keamanan.
“Kita perlu duduk bareng dengan BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum agar perumusannya lebih komprehensif,” jelasnya.
Berpotensi untuk Industri Herbal dan Medis Nasional
Eva juga menekankan bahwa kratom bukan sekadar komoditas ekspor, tetapi juga berpotensi menjadi bahan baku penting bagi industri herbal, medis, dan sektor pertanian nasional. Hal ini sejalan dengan pembahasan di Komisi VII DPR RI mengenai peningkatan daya saing industri nasional.
“Kratom ini masuk dalam wilayah medis, apalagi bisa meningkatkan pendapatan dari pertanian. Pembahasannya relevan dengan penguatan industri yang sedang kami bahas di Komisi VII,” tambahnya.
Penegasan bahwa kratom adalah tumbuhan khas dan potensi unggulan Kalimantan Barat memperkuat urgensi penyusunan regulasi komprehensif.
Dengan nilai ekonomi tinggi, kontribusi ekspor, dan potensi pengembangan industri nasional, kratom berpeluang menjadi komoditas strategis baru Indonesia.
Namun tanpa payung hukum dan pengawasan terpadu, komoditas ini berisiko luput dari pengelolaan negara dan kembali “dipatenkan” oleh pihak luar.
Akses Berita Terbaru Melalui Beritainkalbar.com




